Beranda | Artikel
Pengertian Nyanyian Dalam Islam
Rabu, 17 Februari 2021

Bersama Pemateri :
Ustadz Ahmad Zainuddin

Pengertian Nyanyian Dalam Islam adalah bagian dari ceramah agama dan kajian Islam ilmiah dengan pembahasan Ithaful Qari’. Pembahasan ini disampaikan oleh Ustadz Ahmad Zainuddin, Lc. pada Rabu, 5 Rajab 1442 H / 17 Februari 2021 M.

Kajian Islam Tentang Pengertian Nyanyian Dalam Islam

Secara bahasa, nyanyian ada dua makna; (1) mengangkat dan mengurutkannya, (2) mengintonasikan dan menadakan suara. Adapun secara istilah syariat, artinya yaitu suara yang diikuti secara berurutan dengan nada, intonasi dan dendangan.

Apa yang disebutkan di dalam hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwa ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha berkata:

وَعِندِي جَارِيَتَانِ تُغَنِّيَانِ بغِنَاءِ بُعَاثَ

“Dan dirumahku ada dua wanita budak kecil yang kedua-duanya menyanyi dengan ghina’ Bu’ats.”

Ingat baik-baik yang dimaksud dengan nyanyian pada hadits ini bukanlah nyanyian yang dimaksud oleh para penyanyi dan juga para pemusik. Tetapi nyanyian yang dimaksud di sini adalah mengangkat suara dengan menyebutkan suara tersebut secara berurutan dan teratur tetapi tidak ada intonasi dan nada yang dikenal oleh para penyanyi dan juga pemusik.

Ini sudah kita jelaskan sebagaimana dikatakan oleh Imam Al-Khattabi Rahimahullahu Ta’ala di dalam kitab A’lamul Hadits, juga oleh Imam Ibnul Atsir di dalam An-Nihayah Fi Gharibil Hadits, juga oleh Imam An-Nawawi Rahimahullah dalam Al Minhaj Syarah Shahih Muslim.

Pengertian Al-Ghina’

Pengertian Al-Ghina’ (Nyanyian) -dan masuk di dalamnya musik- menurut para ahli fiqih sebagaimana disebutkan dalam kitab Hasyiyah Ibnu ‘Abidin dan Mathalib Ulin Nuha bahwa ahli fiqih ketika menyebutkan kata al-ghina’ maksudnya adalah:

رفع الصوت بالكلام الملحن على وجه التقريب

“Mengangkat suara dengan kata-kata yang bernada dan yang mempunyai intonasi sesuai dengan nada dan intonasi tersebut.”

Kalau di dalam pembicaraan ilmu fiqih, ghina’ ada beberapa perkara di dalamnya. Yaitu:

  1. mengangkat suara,
  2. pembicaraan atau kata-kata (syi’ir, pantun, puisi dan seterusnya),
  3. bernada dan berintonasi yang mendendangkan pendengaran/menghanyutkan jiwa.

Itulah yang dimaksud dari ghina’ dan nyanyian dari para ahli fiqih.

Adapun yang dimaksud ghina’ dan nyanyian menurut para penyanyi dan juga ahli musik mereka mengatakan bahwa al-ghina’ adalah dendangan, suara yang panjang dan indah sesuai intonasi musik yang memabukkan dan menyamankan jiwa, juga ditambah dengan alat-alat musiknya.

Sedangkan pengertian menurut istilah dari ahli tasawuf yang disebutkan dalam kitab Ithaf As-Sadah Al-Muttaqin bahwasanya musik adalah mengangkat suara dengan perkataan yang teratur yang didendangkan dengan dibarengi dengan alat-alat musik.

Dari sini kita bisa mengambil pelajaran bahwasanya pengertian al-ghina’ secara bahasa adalah mengangkat suara yang diurutkan dengan urutan-urutan dan didendangkan. Apabila urutan suara tersebut tidak ada didalamnya intonasi-intonasi dan nada-nada yang dikenal oleh ahli musik, maka itu adalah sesuatu yang mubah (biasa/boleh). Seperti ketika kaum Anshar menggali parit pada peperangan Khandak, mereka mengatakan:

نَحْنُ الَّذِينَ بَايَعُوا مُحَمَّدَا… علَى الجِهَادِ ما حَيِينَا أبَدَا

“Kita orang-orang yang membaiat Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk berjihad selama kita masih hidup selamanya.” (HR. Bukhari)

Di sini ada suara yang sama secara berurutan dan ada pendendangan. Tetapi pendendangan ini tidak masuk ke dalam nada dan intonasi yang dikenal oleh para ahli musik, maka ini tidak mengapa.

Juga Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ketika menjawab perkataan kaum Anshar tersebut mengatakan:

اللَّهُمَّ إِنَّ الْعَيْشَ عَيْشُ الْآخِرَهْ… فَاغْفِرْ لِلْأَنْصَارِ وَالْمُهَاجِرَهْ

Di sini ada suara yang berurutan, tetapi tidak ada kaitannya dengan nada dan intonasi musik yang dikenal oleh pemusik yang memabukkan jiwa dan menghilangkan akal. Maka yang seperti ini tidak mengapa.

Yang diperbincangkan oleh para ahli fiqih adalah mengangkat suara dengan menyebutkan syi’ir-syi’ir atau puisi-puisi yang dilagukan/didendangkan/dinadakan/diintonasikan sesuai dengan intonasi para pemusik. Ini yang terjadi khilaf di antara para ulama fiqih didalamnya. Adapun yang dengan alat musik, itu sudah pasti haram.

Sehingga nyanyian yang didalamnya ada mengangkat suara, diucapkan ucapan berurut-urutan, didendangkan tapi tanpa nada dan intonasi yang dikenal oleh para pemusik/penyanyi, maka ini adalah perkara mubah yang biasa dilakukan dari mulai semenjak Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Yaitu dengan menyebutkan nasyid, syi’ir, dengan syarat tidak ada perkataan kotor/kasar/porno.

Apabila pada nyanyian tersebut didalamnya terdapat mengangkat suara, didendangkan, ada perkataan-perkataan kotor, zina atau yang membangkitkan syahwat/berkaitan dengan syahwat kepada perempuan, bentuk tubuh perempuan, kecantikan perempuan, maka ini haram, tidak ada perbedaan pendapat di antara para ulama dalam hal ini.

Apabila ada nyanyian yang berkaitan dengan nada dan intonasi yang dikenal oleh para pemusik/penyanyi profesional, baik itu di dalamnya ada atau tidak ada kata-kata yang kotor/porno/syahwat yang diharamkan, rindu-rinduan, tubuh perempuan, kecantikan perempuan, maka ini haram, tidak  ada perbedaan pendapat dalam hal ini.

Apabila ada nyanyian yang didalamnya mengangkat suara dengan dendangan yang menyerupai nada dan intonasi para pemusik profesional, tetapi didalamnya tidak ada musik/alat musik dan didalamnya tidak ada perkataan kotor/keji, ini yang dibicarakan oleh para ulama.

Bagaimana penjelasan lengkapnya? Download mp3 kajian dan simak pembahasan yang penuh manfaat ini..

Download mp3 Kajian


Artikel asli: https://www.radiorodja.com/49830-pengertian-nyanyian-dalam-islam/